KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayahNya kami dapat menyelesaikan tugas Kemuhammadiyahan ini dengan judul “ DEMOKRASI KEMUHAMMADIYAHAN ”.Tugas ini kami susun untuk mengisi nilai kami.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu tersusunya makalah ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, hal ini disebabkan keterbatasan kemampuan kami dalam menyusun makalah ini. Oleh karena itu penyusun berharap kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Metro, 10 April 2009
Penyusun
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Latar BelakangPENDAHULUAN
Memang suara ormas Islam besar seperti NU dan Muhammadiyah gampang menjadi pusat perhatian dan rebutan banyak pihak. Meminjam istilah KH Mustofa Bisri, seringkali NU dan Muhammadiyah terlampau ge-er (gede rumangso). Jika Muhammadiyah terus terlibat aksi dukung-mendukung dan bahkan lebih mempertegas sikap partisannya, tradisi politik yang kurang baik akan terulang. Maksudnya, jika nantinya ada salah satu atau mantan pucuk pemimpin Muhammadiyah punya keinginan yang sama dengan Amien, pasti akan didukung juga. Pada akhirnya, sangat mungkin orang yang ingin menjadi pengurus Muhammadiyah, hanya menjadikan amanah itu sebagai batu loncatan untuk lebih mempermudah menggapai tangga kekuasaan. Warga Muhammadiyah pun, akan terbebani terus-menerus oleh “ambisi” politik para pemimpinnya.
Sejarah membuktikan, hal itu hanya memperboros energi umat. Jika dukungan itu memperoleh hasil, imbalan (reward) yang diberikan pada organisasi lebih kecil dibandingkan dengan apa yang dinikmati oleh elitenya. Sebaliknya, jika gagal maka hukuman (punishment) secara psikologis dan moral, umumnya akan lebih banyak dibebankan pada warganya. Tanpa dukung mendukung pun, organisasi masyarakat seperti NU dan Muhammadiyah, terbukti berkiprah maksimal.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Muhammadiyah Serukan Warganya MemilihPEMBAHASAN
Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyeru kepada segenap warga negara untuk menggunakan hak pilihnya secara cerdas pada Pemilihan Umum (Pemilu) 9 April 2009. Muhammadiyah sendiri mengaku belum akan menentukan calon presiden pilihannya, sebelum pemilu legislatif tersebut.
Demikian disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr H Din Syamsuddin, Ketua PP Muhammadiyah Haidar Nasir, dan Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah Bachtiar Effendy, Senin (30/3), dalam konferensi persnya di Malang.
Kedatangan sejumlah tokoh PP Muhammadiyah tersebut dalam rangka rapat penyusunan konsep revitalisasi pembangunan visi dan karakter bangsa. Rapat ini merupakan kelanjutan dari sidang tanwir Muhammadiyah di Lampung sebelumnya.
"Kami menyeru dan mengajak segenap warga negara yang memiliki hak pilih untuk menggunakan hak politiknya dengan cerdas dan kritis, disertai sikap dewasa dalam menerima hasilnya. Penggunaan hak politik itu merupakan wujud tanggung jawab berdemokrasi," tutur Din Syamsuddin.
Rakyat, menurut Din, diminta memilih wakil rakyatnya yang memiliki rekam jejak
akhlak dan prestasi baik, jujur dan tepercaya, mengutamakan kepentingan bangsa daripada kepentingan pribadi atau partai dan golongannya sendiri, dan sebagainya. "Selain harus punya komitmen moral dan perjuangan, wakil rakyat yang dipilih harus memiliki kompetensi atau kemampuan," imbuh Din Syamsuddin.
Dalam kesempatan itu Bachtiar Effendy menambahkan bahwa PP Muhammadiyah sendiri sebelumnya telah menginstruksikan agar lembaga-lembaga di bawah Muhammadiyah termasuk lembaga pendidikan, tidak turut terjun dalam kancah politik.
PP Muhammadiyah juga berharap agar segenap elite politik, parpol, dan berbagai pihak menjadikan pemilu sebagai proses demokrasi yang sehat dan beradab. Pemilu harus dilandasi etika dan sportivitas tinggi sehingga persaingan menjadi sehat dan tidak saling hujat atau mengembangkan kampanye negatif.
Pemecatan M. Dawam Rahardjo dari keanggotaannya di Muhammadiyah menambah satu lagi catatan buruk sejarah kontemporer Muhammadiyah. Pemecatan ini merupakan kulminasi dari proses puritanisasi yang terjadi dalam tubuh Muhammadiyah sejak dua tahun terakhir. Benar bahwa ada sebagian pemimpin organisasi ini yang cukup progresif dan liberal, seperti Ahmad Syafii Maarif, Dawam Rahardjo, dan Amien Abdullah, tapi keberadaan mereka tertutupi dengan banyaknya kaum puritan non-liberal yang menguasai cabang-cabang dan ranting-ranting.
Pemecatan M. Dawam Rahardjo dari keanggotaannya di Muhammadiyah menambah
satu lagi catatan buruk sejarah kontemporer Muhammadiyah. Pemecatan ini merupakan kulminasi dari proses puritanisasi yang terjadi dalam tubuh Muhammadiyah sejak dua tahun terakhir. Sebagian orang menganggap bahwa radikalisasi --atau puritanisasi-- dalam Muhammadiyah terjadi sejak Dien Syamsuddin memimpin organisasi Islam terbesar kedua setelah NU itu. Tapi ada yang mengatakan bahwa naiknya Dien justru merupakan konsekwensi dari kecenderungan puritanis dalam Muhammadiyah belakangan ini. Dien hanyalah seorang “pemanfaat” situasi yang kebetulan disukai oleh kaum puritanis itu.
Saya lebih cenderung pada pendapat kedua. Dien yang saya kenal, bukanlah seorang yang kaku dan radikal dalam menyikapi sesuatu. Sebaliknya, dia adalah seorang yang lentur, jenius dalam berpolitik, dan pandai mengambil manfaat dan kesempatan. Kita tahu, Dien adalah seoang lulusan IAIN yang belajar di Barat. Ia mengambil kajian pemikiran politik, pernah menjabat sebagai pengurus Golkar, pernah dekat dengan kelompok tentara dan Prabowo, pernah menjadi Dirjen tenaga kerja, dan menjadi pengurus ICMI. Dien bukanlah tipikal orang “radikal” seperti Abu Bakar Baashir atau Habib Rizieq Shihab. Tapi, Dien adalah seorang pemanfaat yang baik dan cerdas.
Dengan demikian, Muhammadiyah menjadi semakin puritan jelas bukan karena Dien, tapi karena massa mayoritas organisasi itu menghendaki dan mewarnainya demikian. Saya masih ingat ketika mendapat undangan berbicara di depan ratusan pemimpin
cabang Muhammadiyah beberapa tahun lalu. Aura puritanisme jelas sekali memancar dalam ruang diskusi yang kurang bersahabat pada apa yang saya lontarkan. Padahal, ketika itu, saya hanya ingin mengatakan bahwa K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, meruapakan seorang ulama dan intelektual yang cukup toleran dan terbuka dengan perkembangan pemikiran Islam.
Muhammadiyah memang sedang mengalami kemunduran serius. Bukan karena masuknya Dien Syamsuddin, tapi karena semangat puritan yang diusung oleh para pemimpinnya, khususnya di tingkat-tingkat cabang. Benar bahwa ada sebagian pemimpin organisasi ini yang cukup progresif dan liberal, seperti Ahmad Syafii Maarif, Dawam Rahardjo, dan Amien Abdullah, tapi keberadaan mereka tertutupi dengan banyaknya kaum puritan non-liberal yang menguasai cabang-cabang dan ranting-ranting.
Demokrasi adalah resep yang buruk buat sebuah masyarakat yang tak liberal. Apa yang berlaku dalam Muhammadiyah jelas merefleksikan kaedah ini. Pemilihan ketua Muhammadiyah tahun lalu akhirnya menghasilkan apa yang oleh Fareed Zakaria disebut “illiberal democracy.” Pemilihan proseduralnya sendiri dilakukan secara demokratis, tapi elemen-elemen yang terlibat dalam pemilihan itu, sebagain besar adalah orang-orang yang tak-liberal.
Perkembangan mutakhir Muhammadiyah memang cukup mengkhawatirkan.
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi reformis yang memiliki misi pembaruan pemikiran keagamaan. Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912, ketika semangat pembaruan keagamaan mendominasi hampir seluruh gerakan kebangkitan Islam.
Gerakan kebangkitan Islam, pada mulanya bersifat reformis, dalam pengertian bahwa ia mengusung ide-ide pembaruan keagamaan. Sejarah kebangkitan Islam di Indonesia bermula dari Minangkabau, ketika para intelektual muslim yang belajar di Mekah dan Cairo kembali ke kampung halaman mereka dan menyebarkan semangat dan gagasan-gagasan reformasi Islam. Di Sumatra, penyebaran semangat dan gagasan itu dilakukan lewat sekolah-sekolah seperti Adabiyah, Surau Jembatan Besi, dan Thawalib, sementara di Jawa, dilakukan lewat organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah, Jami’at Khayr, dan al-Irsyad.
Corak dan karakter pemikiran keagamaan Muhammadiyah, pada mulanya bersifat pembaruan (reformis). Karena corak dan karakter inilah, Muhammadiyah dengan cepat menyebar dan dengan mudah dapat diterima di Sumatera Barat. Bahkan Sumatera Barat sampai kini menjadi wilayah terbesar pengikut Muhammadiyah di luar Jawa.
Sejarah Muhammadiyah selalu mengalami pasang-surut. Pada awal tahun 1970-an, organisasi ini memainkan peran cukup penting dalam membantu pemerintah melancarkan proyek modernisasi dan pembangunan. Generasi muda Muhammadiyah
pada saat itu juga memainkan peran yang tak kalah pentingnya. Diskusi-diskusi pemikiran di kalangan anak-anak muda Muhammadiyah tumbuh subur. Salah satu gerakan penting pembaruan Islam tahun 1970-an adalah “Limited Group” sebuah kelompok diskusi yang dimotori, salah satunya, oleh Dawam Rahardjo.
Peran Dawam Rahardjo sangat besar dalam meneruskan cita-cita pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Sama seperti Nurcholish Madjid di Jakarta, Dawam melakukan pembaruan Islam dari Yogyakarta. Bagi orang-orang di luar Muhammadiyah, Dawam merupakan tokoh yang menetralkan citra Muhammadiyah dari kecenderungan puritannya. Karena itu, saya menganggap sebuah kebodohan dan kesalahan besar telah dilakukan para pengurus Muhammadiyah yang dengan semena-mena telah memecatnya.
2.2 Demokrasi Sebagai Alat Kesepahaman Antar Budaya
“Salah satu jalan untuk mencapai sebuah kesepahaman antar budaya saat ini yaitu demokrasi,” ungkap Mariane Farine dosen di Howard University dalam sebuah acara Seminar Internasional dengan tema Building Understanding With Intercultural Communication (Religious Life and Studies in America and Indonesia) yang dilaksanakan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Senin (07/01/2008).
Perbedaan budaya yang sering menjadi penghalang hubungan antar bangsa di dunia, menurutnya bukanlah sebuah permasalahan yang harus terjadi. Dimana kesepahaman budaya yang telah ada sejak dulu tidak pernah diperhatikan lagi oleh
kita sendiri. Sebagai makhluk sosial yang berada di dalam keberagaman budaya dunia, ia mengungkapkan bahwa nilai-nilai yang di tonjolkan dalam hal ini cenderung hanya pada perbedaannya saja. Saat ini, ujarnya perbedaan tersebut telah menjadi permasalahan yang kompleks antar budaya yang ada didunia. Keterbatasan dalam hubungan sosial yang juga melibatkan hubungan antar bangsa harus memiliki sebuah solusi untuk berperan sebagai pemersatu tanpa harus bertentangan dengan kebudayaan. “Untuk itu demokrasilah yang menjadi jawaban”katanya. Lebih lanjut Mariane yang merupakan seorang dosen di Howard University, Washington DC, mengatakan terdapat tiga unsur yang harus diperhatikan di dalam penggunakan system demokrasi. Pertama yaitu Human Dignity (martabat manusia), menghargai setiap hak dan martabat manusia tanpa harus memasukkan unsur-unsur yang dapat menimbulkan perbandingan bahkan perbedaan. Kedua, collaboration (kerja sama), dengan lebih menonjolkan sifat kerja sama/kebersamaan antar budaya. Kemudian unsur yang ketiga, empowerment (wewenang), meniadakan kekuasaan yang dapat mempengaruhi kewenangan dalam sistem demokrasi. Dari ketiga hal tersebut, menurutnya pencapaian demokrasi yang menjadi alat pemersatu budaya akan dapat terlaksana dengan baik tanpa harus mempermasalahkan budaya dan agama. Lebih lanjut Mariane mengatakan bahwa yang terpenting dalam hal ini yaitu jangan pernah mendahulukan keegoisan. Pada pelaksanaannya yang kerap terjadi dalam kehidupan bernegara atau hubungan antar negara, tindakan dengan menggunakan keegoisan dapat menjadi sumber sebuah perbedaan yang berujung konflik. “Hal ini disebabkan
karena ketiga unsur yang harus diperhatikan dalam demokrasi tidak diterapkan dengan baik,” tegasnya.
Hal serupa juga disampaikan oleh Taufiqurrahman, dosen Ilmu Komunikasi (FISIPOL UMY) yang juga hadir sebagai pembicara. Menurut Taufiq, empati terhadap setiap pendapat yang disampaikan oleh siapapun, dapat menjadi cara untuk menghindari kesalahpahaman. Kerap terjadi ketika sebuah kelompok atau negara yang memberikan pendapat, ditolak dengan alasan perbedaan budaya. Padahal belum diketahui apakah pendapat tersebut dapat dibenarkan atau tidak. “Dengan rasa empati dan saling menghargai untuk setiap perbedaan, secara tidak langsung perbedaan yang ada tidak akan menjadi pembatas hubungan baik antar budaya” ungkap orang nomor satu di Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah tersebut.
2.3 Pemuda Muhammadiyah Siap Dukung Pemilu 2009
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, M. Izzul Muslimin mengatakan menghadapi pemilu 2009, pemuda Muhammadiyah siap berperan aktif menyukseskan Pemilu 2009.
"Bangsa Indonesia akan menghadapi pemilu, untuk memilih anggota legislatif dan presiden. Pemuda Muhammadiyah terlibat baik dalam memilih, terpilih, maupun sebagai penyelanggara," kata Izzul di Makassar, Minggu (24/8), dalam acara pembukaan Tanwir II Pemuda Muhammadiyah.
Ia mengatakan, sebagai organisasi kader yang berorientasi pada tiga fungsi yaitu
kader persyarikatan, kader ummat, dan kader bangsa, Pemuda Muhammadiyah perlu mendorong anggotanya berperan aktif dalam sukseskan pemilu sesuai dengan posisinya masing-masing.
Ia menjelaskan keterlibatan pemuda Muhammadiyah tidak terbatas sebagai pemilih dan penyelenggara pemilu, tetapi juga maju sebagai calon pemimpin. Menurut dia, tidak salah jika kader Muhammadiyah tampil dalam kepemimpinan.
"Dalam Islam, kepemimpinan adalah sebuah fardlu khifayah yang harus diupayakan. Tidak salah jika kader Pemuda Muhammadiyah menyiapkan diri tampil dalam kepemimpinan," katanya.
Namun, hendaknya niat untuk menjadi pemimpin adalah untuk memimpin dan berkhidmat atau bersungguh-sungguh mengabdi untuk rakyat.
"Jangan terjebak pada motivasi kepemimpinan yang salah. Seharusnya motivasi adalah `bisa merasa` bukan `merasa bisa`," katanya.
Ia berpesan siapa pun yang ingin tampil sebagai pemimpin harus memiliki tujuan yakni berkhidmat untuk rakyat.
Ia menilai demokrasi adalah sebuah cara untuk melahirkan pemimpin namun, realitasnya demokrasi tidak cukup untuk melahirkan pemimpin yang baik. Alasannya, katanya, demokrasi saat ini hanya dipandang hanya sebagai prosedur.
"Tetapi, kita tidak perlu putus asa, kualitas demokrasi ditentukan seberapa besar kedewasaan masyarakat dan tugas kita mengawal demokrasi itu," kata Izzul.
Acara Tanwir II Pemuda Muhammadiyah berlangsung mulai 24 Agustus hingga 26 Agustus 2008.
Pembukaan acara Tanwir II Pemuda Muhammadiyah di Makassar dihadiri oleh Bendahara PP Muhammadiyah, Zamroni yang sekaligus membuka acara.
Sementara itu, dalam acara pembukaan tersebut juga diselingi dengan peluncuran buku berjudul "Hj. Athirah, Melangkah Dengan Payung" yang ditulis oleh Basti Tetteng, dkk.
Hj. Athirah adalah istri dari Hadji Kalla dan merupakan ibu dari Wakil Presiden Jusuf Kalla.
2.4 Muhammadiyah Dukung Terbentuknya Oposisi
Pimpinan Pusat Muhammadiyah mendukung terbentuk partai atau kekuatan oposisi untuk menjalankan fungsi kritik dan kontrol yang efektif terhadap pemerintah. Oposisi yang kuat dan beretika sangat diperlukan sebagai bentuk tanggung jawab daripada sekadar mencaci maki untuk melakukan tekanan politik. "Daripada sekadar mencaci maki, oposisi sangat penting demi pelaksanaan demokrasi yang lebih beradab," kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Syafi'i Ma'arif, saat menyampaikan pernyataan organisasinya atas pelaksanaan Pemilu 2004 di
Yogyakarta kemarin.
Menurut Syafi'i, Muhammadiyah menilai pelaksanaan demokrasi di Indonesia beberapa tahun terakhir ini mengalami perkembangan cukup bagus. Hanya saja, kata dia, kualitas pelaksanaannya memang masih perlu waktu, termasuk dari pemilu kali ini. Ia mengatakan, pemilu kali ini adalah momentum politik baru yang melebihi Pemilu 1955, karena selain memilih partai, rakyat juga memilih nama anggota DPR, DPRD, dan DPD.
Dukungan atas perlunya peran oposisi ini merupakan butir kedua dari empat hal yang mendapat sorotan Muhammadiyah. Dalam pernyataan resmi yang dibacakan sekretaris organisasi ini, Haedar Nashir, Muhammadiyah meminta partai yang kalah dalam pemilu kali ini haruslah berlapang hati dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan hajat hidup dan tatanan publik. Partai politik yang kalah, kata Haedar, justru harus menjadi oposisi untuk menjalankan kritik dan kontrol yang efektif di atas prinsip kedaulatan rakyat.
Meski mendukung soal oposisi, baik Syafi'i maupun Haedar tidak menerangkan adakah kaitan pernyataan Muhammadiyah itu dengan deklarasi Aliansi Besar untuk Perubahan yang dideklarasikan akhir pekan lalu oleh sejumlah tokoh nasional seperti Nurcholish Madjid, Siswono Yudohusodo, Faisal Basri, dan tokoh dari sembilan partai politik.
Sementara itu, dari Jakarta, Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung kemarin justru mengkritik Aliansi Besar untuk Perubahan itu. Ia menilai, gerakan ini
bukan bentuk pendidikan politik yang baik bagi masyarakat. "Ini tidak sejalan dengan upaya kita membangun kehidupan politik yang demokratis dan terbuka," katanya.
Menurut Akbar, dalam sistem demokrasi, tidak boleh memperlakukan sebuah partai secara berbeda. "Kita harus memperlakukan semua partai sama, toh 24 partai ini sah menjadi peserta pemilu," ucapnya. Untuk itu, kata dia, tidak boleh pihak-pihak tertentu menjelek-jelekkan dan mendiskreditkan sebuah partai.
2.5 Politik Demokrasi Muhammadiyah
Kata politik garam di Muhammadiyah sebenarnya sudah lama didengungkan para tokohnya, khususnya Amien Rais dan Buya Syafi’i Maarif. Politik garam ini penting untuk menghindari Muhammadiyah dari praktek politik gincu yang dianggap sebagai lawan dari politik garam. Politik gincu adalah politik naif yang miskin substansi namun nampak terang dan mencolok di permukaan. Politik gincu biasanya dimainkan oleh politisi yang gandrung dengan simbol dan publisitas. Manuvernya jauh dari substansi politik dan miskin visi.
Sayang, keinginan untuk mewujudkan politik garam sebagai bentuk partisipasi politik Muhammadiyah hingga kini belum menemukan bentuknya. Muhammadiyah justru pada tingkat tertentu lebih memilih menghindar dari kancah wacana politik dan partisipasi politik aktif. Padahal dalam reel politik, Muhammadiyah dan seluruh kadernya di bawah tidak bisa sama sekali menghindar dari partisipasi politik. Jikapun setiap kader menggunakan hak pilih dalam setiap pemilihan, maka tidak ada bedanya
kader-kader Muhammadiyah dengan masyarakat pada umumnya yang lebih cenderung hanya menjadi objek politik. Sebab tidak ada partisipasi politik yang paling rendah melainkan hanya menggunakan hak pilih dalam setiap prosesi pemilihan baik legislatif maupun eksekutif.
Alih-alih melakukan pengkaderan untuk menciptakan kader-kader militan, sarat moral dan memiliki karakter Muhammadiyah, malah yang muncul adalah apatisme Muhammadiyah terhadap persoalan politik. Muhammadiyah terkadang menganggap dunia politik sebagai sesuatu yang menakutkan sehingga harus menjaga jarak (aman) dengan alasan agar Ormas ini steril dari virus politik. Padahal berpartisipasi dalam mewarnai dinamika politik, bukan berarti harus menceburkan Muhammadiyah ke dalam dunia politik praktis.
Jarak yang dibangun Muhammadiyah terhadap dunia politik kemudian memunculkan berbagai sikap yang gamang di setiap level pimpinan. Kegamangan terjadi sebab langsung atau tidak langsung, di era demokrasi yang semakin terbuka ini, Ormas-ormas pada umumnya dan Muhammadiyah pada khususnya memiliki irisan kepentingan dalam konteks membangun sebuah masyarakat yang diharapkan. Bagaimana mungkin sebuah masyarakat Islam yang sebenar-benarnya bisa terjadi jika masyarakat itu dipimpin oleh pemimpin yang jauh dari kriteria pemimpin yang diharapkan Muhammadiyah, atau bagaimana mungkin rakyat akan terwakili
aspirasinya jika mereka yang mewakilinya (DPR/DPRD) tidak berjuang untuk kepentingan rakyat atau paling tidak konstituennya.
Di saat Muhammadiyah mencita-citakan sebuah bangunan masyarakat yang sangat ideal, sepantasnya jika itu diwujudkan berbarengan dengan proses pemilihan kepala daerah atau wakil rakyat yang akan mendukung cita-cita tersebut. Itu artinya Muhammadiyah harus terlibat dalam proses politik di setiap level pimpinan. Persoalannya kemudian, partisipasi politik apa yang harus dibangun Muhammadiyah dalam membangun sebuah tatanan masyarakat yang baik? Sebab partisipasi politik begitu luas, sehingga tidak mungkin Muhammadiyah masuk pada wilayah-wilayah dimana aktivitas itu tidak mungkin dilakukan oleh Muhammadiyah.
Partisipasi politik Muhammadiyah berbeda dengan partisipasi politik individu warga Muhammadiyah. Setiap kali ada hajat demokrasi, warga Muhammadiyah ikut terlibat dan berpartisipasi, meskipun hanya memberikan hak suara. Tetapi partisipasi Muhammadiyah yang dimaksud adalah partisipasi kelembagaan yang tentu saja melampaui hak-hak partisipasi politik individu. Oleh karena itu paling tidak ada beberapa langkah yang dapat dilakukan Muhammadiyah dalam melakukan partisipasi politik kebangsaannya.
Pertama, memahami politik garam. Yang namanya garam, bersifat larut dan tidak tampak di permukaan. Karakter tidak tampak ini tidak kemudian orang menihilkan
keberadaannya, sebab garam selalu memberi rasa. Hingga pada titik tertentu orang sangat ketergantungan pada rasa ini, kendati tidak terlihat di permukaan. Karenanya kader Muhammadiyah tidak selayaknya hanya mengandalkan politik gincu yang hanya berkoar-koar atau mengedepansan simbol-simbol Muhammadiyah tetapi miskin visi. Keberadaannya dalam kancah politik harus benar-benar memiliki nafas Muhammadiyah yang sarat nilai. Sehingga para politisi Muhammadiyah ketika berada dalam posisi apapun harus memiliki karakter dan selalu memberikan warna yang beda dari para politisi pada umumnya.
Kedua, untuk menciptakan para politisi yang memiliki karakter, Muhammadiyah sebaiknya melakukan pembinaan internal yang lebih khusus terhadap kader-kader yang memiliki orientasi terhadap politik kebangsaan. Pengkaderan bukan sekedar formalitas dengan kegiatan kumpul-kumpul semata, tetapi pengkaderan harus lebih terstruktur, berjenjang dan sistematis agar melahirkan para politisi yang benar-benar mencerminkan ruh Muhammadiyah ketika berada di arena panggung politik nyata.
Karenanya, dengan organ Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publiknya ini, Muhammadiyah sebenarnya dapat melakukan rekayasa internal untuk mempersiapkan kader-kader terbaiknya agar siap memimpin dan mewakili rakyat secara luas. Kesiapan memimpin dan mewakili rakyat tentu saja bukan persoalan mental tetapi bekal intelektual, moral dan spiritual. Oleh karena itu Lembaga Hikmah
dan Kebijakan Publik kiranya sangat representatif untuk menyusun semacam modul atau skenario politik kader Muhammadiyah yang siap terjun di kancah politik praktis. Bahkan lebih jauh saya kira Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik sangat berhak untuk melakukan semacam seleksi bagi kader-kader yang sudah layak untuk terjun di dunia politik praktis. Memperketat hal ini sama dengan Muhammadiyah telah bertanggung jawab terhadap setiap kader yang dilepasnya di arena panggung politik publik.
Hal ini penting, selain untuk memberikan bekal terhadap kader itu sendiri, sekaligus dapat menepis setiap anggapan kader Muhammadiyah yang sudah duduk di posisi-posisi strategis dunia politik, bahwa dirinya menjadi Gubernur, Walikota/Bupati atau anggota dewan bukan karena Muhammadiyah tetapi murni hasil usahanya sendiri. Resikonya, Muhammadiyah tidak bisa mengendalikan kader-kadernya yang sudah terjun di dunia politik praktis, juga kader tersebut tidak tidak memperhatikan Muhammadiyah.
Tentu saja kita sepakat, Muhammadiyah jangan sampai terjun ke dunia politik praktis. Namun dengan usaha-usaha di atas, Muhammadiyah dapat membuktikan konsistensinya menjadi Ormas yang tetap bergerak di bidang dakwah dan pendidikan plus sosial, namun tetap bertanggung jawab terhadap dunia politik kebangsaan. Sebab semuanya penting dan tidak boleh saling menomor duakan. Jangan menganggap
kepemimpinan tidak penting, sebab semua aspek kehidupan masyarakat sangat dipengaruhi oleh kebijakan dari pemimpinnya, baik skala lokal, regional maupun nasional.
Oleh karena itu partisipasi politik kader Muhammadiyah tidak mesti menggunakan Partai politik tertentu untuk menjadi saluran politiknya. Sebab yang paling penting bagi Muhammadiyah adalah mempersiapkan kader-kader yang tangguh, bukan mendirikan partai politik. Persoalan kader Muhammadiyah selalu gagal di partai politik yang ada, itu menunjukan bahwa kader tersebut belum layak menjadi kader politik Muhammadiyah, sebab mudah putus asa, sakit hati, dendam dan mudah membalas dengan membuat partai politik dengan menjual bendera Muhammadiyah.
Pentingnya mempersiapkan kader daripada mempersiapkan partai politik semakin kuat dengan mengutif hasil penelitian Lely Arrianie tentang kiprah para anggota DPR. Dalam proposisi penelitian Lely dikatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam sikap dan perilaku politik tertentu di antara individu-individu politik yang berasal dari Parpol berbeda termasuk dalam melakukan komunikasi politik dan pengelolaan kesan mereka di panggung politik. Lely dalam penelitiannya memberikan gambaran bahwa baik-tidaknya seorang politisi sama sekali tidak dipengaruhi oleh warna, asas, dan idiologi Parpol, tetapi sangat terkait dengan basic keilmuan, organisasi asal dan moralitas individu. Dengan berorientasi pada penyiapan
kader politik (bukan partai politik) secara baik, Muhammadiyah akan lebih strategis dalam mewarnai dunia politik kapanpun dan dimanapun, tanpa terjun pada dunia politik praktis sekalipun.
BAB III
PENUTUP
3.1 KesimpulanPENUTUP
Partisipasi politik Muhammadiyah berbeda dengan partisipasi politik individu warga Muhammadiyah. Setiap kali ada hajat demokrasi, warga Muhammadiyah ikut terlibat dan berpartisipasi, meskipun hanya memberikan hak suara. Tetapi partisipasi Muhammadiyah yang dimaksud adalah partisipasi kelembagaan yang tentu saja melampaui hak-hak partisipasi politik individu. Oleh karena itu paling tidak ada beberapa langkah yang dapat dilakukan Muhammadiyah dalam melakukan partisipasi politik kebangsaannya.
3.2 Saran
Mari kita dukung demokrasi Muhammadiyah di Indonesia dengan ikut berpartisipasi dalam hal-hal yang bersifat demokrasi seperti pemilu, dll.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.Kompas.com
http://www.Kapanlagi.com
Http://islamlib.com/id/index.php?Page=article&id=580)
best football games you can find on YouTube
BalasHapusyoutube.com videos, videos, and the best football games you can find on YouTube. youtube.com videos, youtube to mp4 videos, and the best football games you can find on YouTube. youtube.com videos, videos, and